
13 Menit
Membeli properti adalah keputusan besar yang membutuhkan pemahaman menyeluruh, termasuk soal legalitas kepemilikan. Banyak pembeli properti pertama yang terfokus pada lokasi, harga, dan desain bangunan, namun melupakan aspek krusial: jenis sertifikat. Kesalahan dalam memahami status sertifikat bisa berujung pada kerugian finansial dan masalah hukum di masa depan.
Sertifikat properti adalah dokumen legal yang membuktikan hak kepemilikan Anda atas tanah dan bangunan. Di Indonesia, terdapat beberapa jenis sertifikat dengan karakteristik berbeda. Dua yang paling umum adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Memahami perbedaan keduanya akan membantu Anda membuat keputusan investasi properti yang tepat.
Artikel ini akan membahas secara lengkap mengenai perbedaan SHM dan SHGB, jenis-jenis sertifikat properti lainnya di Indonesia, serta tips memilih properti berdasarkan status sertifikatnya. Mari kita mulai dengan memahami mengapa sertifikat properti begitu penting.

Sertifikat properti adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai bukti kepemilikan sah atas tanah dan bangunan. Dokumen ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan fondasi legal yang melindungi hak Anda sebagai pemilik properti.
Fungsi utama sertifikat mencakup perlindungan hukum terhadap klaim pihak lain, kemudahan dalam transaksi jual beli, dan kelayakan sebagai agunan untuk pengajuan kredit perbankan. Menurut regulasi pertanahan di Indonesia, sertifikat yang jelas akan mempermudah proses balik nama dan peralihan hak kepemilikan.
Setiap jenis sertifikat memiliki tingkat kekuatan hukum yang berbeda. Semakin kuat status sertifikat, semakin besar kepastian hukum dan nilai investasi properti Anda.
Membeli properti tanpa memeriksa status sertifikat dengan cermat bisa menimbulkan risiko serius. Anda mungkin kehilangan hak atas properti jika ternyata ada sengketa kepemilikan, atau menghadapi kesulitan saat ingin menjual kembali properti tersebut.
Properti tanpa sertifikat resmi atau hanya berbekal dokumen lemah seperti girik juga sulit dijadikan jaminan kredit bank. Hal ini akan membatasi fleksibilitas finansial Anda di masa depan. Oleh karena itu, selalu pastikan status sertifikat properti sebelum melakukan transaksi pembelian.

Sertifikat Hak Milik atau SHM adalah bentuk kepemilikan properti tertinggi dan terkuat dalam sistem hukum pertanahan Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, SHM memberikan hak kepemilikan penuh kepada pemegangnya atas tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya.
Karakteristik utama SHM adalah bersifat turun-temurun, tidak memiliki batas waktu, dan memberikan kewenangan penuh kepada pemilik untuk mengelola properti. Dengan SHM, Anda bisa menggunakan, menjual, mengalihkan, atau mewariskan properti tanpa batasan waktu tertentu.
SHM mencakup informasi lengkap seperti nama pemilik, luas tanah, lokasi properti, gambar situasi tanah, dan cap stempel sebagai bukti keabsahan. Dokumen ini menjadi bukti kepemilikan paling sah di mata hukum Indonesia.
Memiliki properti dengan status SHM memberikan berbagai keuntungan signifikan. Pertama, kepastian hukum yang kuat melindungi Anda dari klaim atau sengketa kepemilikan. Properti SHM juga memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan jenis sertifikat lainnya karena status kepemilikannya yang penuh.
Keunggulan lain adalah kemudahan dalam transaksi dan proses peralihan hak. Bank juga lebih mudah menyetujui pengajuan kredit dengan agunan properti bersertifikat SHM. Anda bisa mewariskan properti kepada generasi berikutnya tanpa khawatir kehilangan hak kepemilikan.
Untuk investasi jangka panjang atau hunian permanen, SHM adalah pilihan terbaik yang memberikan ketenangan pikiran dan fleksibilitas maksimal.
Status SHM hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan hukum tertentu yang ditunjuk pemerintah. Regulasi ini diatur dalam Pasal 21 UUPA untuk melindungi kepemilikan tanah nasional.
Warga Negara Asing (WNA) tidak diperbolehkan memiliki properti dengan status SHM. Jika WNA memperoleh tanah SHM melalui warisan atau percampuran harta perkawinan, mereka wajib melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu satu tahun.
Pembatasan ini menjadi salah satu perbedaan fundamental antara SHM dengan jenis sertifikat lainnya yang lebih fleksibel dalam hal kepemilikan.

Sertifikat Hak Guna Bangunan atau SHGB adalah hak yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Tanah tersebut bisa berupa tanah negara, tanah hak pengelolaan, atau tanah milik pihak lain.
Perbedaan mendasar antara SHGB dan SHM adalah cakupan hak kepemilikan. Pemegang SHGB hanya memiliki hak atas bangunan yang didirikan, sementara hak atas tanahnya tetap dimiliki oleh pemilik tanah asli atau negara.
SHGB umumnya diberikan kepada developer untuk membangun perumahan, apartemen, atau properti komersial. Status ini memungkinkan pengembangan properti dalam skala besar dengan sistem yang lebih fleksibel.
SHGB memiliki jangka waktu terbatas, berbeda dengan SHM yang berlaku selamanya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah, SHGB di atas tanah negara diberikan untuk masa berlaku awal 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Setelah itu, pemegang hak bisa mengajukan pembaruan untuk 30 tahun berikutnya, sehingga total maksimal kepemilikan mencapai 80 tahun.
Perpanjangan SHGB harus diajukan paling lambat dua tahun sebelum masa berlaku habis. Prosesnya dilakukan di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat dengan membawa dokumen seperti fotokopi KTP, KK, sertifikat asli, dan bukti pembayaran PBB.
Biaya perpanjangan SHGB dihitung berdasarkan rumus yang ditetapkan pemerintah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002,
rumusnya adalah: (Jangka waktu perpanjangan ÷ 30 tahun) x 1% x (Nilai Perolehan Tanah - NPT Tidak Kena Uang Pemasukan) x 50%.
Nilai NPT dan NPTTKUP bisa dilihat di Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB.
SHGB lebih fleksibel dalam hal kepemilikan dibandingkan SHM. Status ini bisa dimiliki oleh WNI, badan hukum Indonesia, dan bahkan WNA atau badan hukum asing yang memiliki izin usaha resmi di Indonesia.
Fleksibilitas ini membuat SHGB menjadi pilihan umum untuk properti komersial dan pengembangan skala besar. Developer sering menggunakan status SHGB untuk membangun perumahan atau apartemen yang kemudian dijual kepada konsumen.
Namun perlu diingat, jika Anda membeli properti dengan status SHGB dari developer, proses perubahan nama dan potensi konversi ke SHM menjadi tanggung jawab Anda sebagai pembeli.
Perbedaan paling fundamental terletak pada cakupan hak yang diberikan. SHM memberikan hak kepemilikan penuh atas tanah dan bangunan, sedangkan SHGB hanya memberikan hak atas bangunan yang didirikan di atas tanah tersebut.
Pemegang SHM memiliki kewenangan penuh untuk mengelola, menggunakan, dan mengalihfungsikan properti sesuai kebutuhan. Sementara pemegang SHGB harus mendapat persetujuan dari pemilik tanah jika ingin mengubah fungsi bangunan atau melakukan modifikasi signifikan.
Dari segi fleksibilitas penggunaan, SHM memberikan kebebasan lebih besar dibandingkan SHGB yang memiliki batasan tertentu sesuai kesepakatan dengan pemilik tanah.
SHM berlaku selamanya tanpa batas waktu, bersifat turun-temurun, dan tidak memerlukan perpanjangan. Hak kepemilikan akan terus berlaku selama pemilik hidup dan dapat diwariskan kepada ahli waris tanpa kehilangan status kepemilikan.
Sebaliknya, SHGB memiliki masa berlaku terbatas. Kepemilikan awal diberikan untuk 30 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun, dan diperbarui lagi untuk 30 tahun. Jika tidak diperpanjang tepat waktu, hak atas bangunan akan kembali kepada pemilik tanah asli atau negara.
Perbedaan jangka waktu ini sangat penting dipertimbangkan, terutama jika Anda berencana memiliki properti sebagai hunian permanen atau investasi jangka panjang yang akan diwariskan.
Properti dengan status SHM umumnya memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan SHGB. Hal ini karena kepemilikan penuh dan kepastian hukum yang lebih kuat membuat properti SHM lebih menarik bagi pembeli.
Status sertifikat juga mempengaruhi daya tarik investasi. SHM cocok untuk investasi jangka panjang karena nilai properti cenderung meningkat seiring waktu tanpa risiko kehilangan hak. Sementara SHGB lebih sesuai untuk investasi jangka pendek atau menengah dengan return yang lebih cepat.
Bank juga lebih mudah memberikan persetujuan kredit untuk properti bersertifikat SHM. Nilai agunan properti SHM dinilai lebih tinggi karena jaminan kepemilikan yang permanen.
Dari segi biaya awal, properti dengan status SHGB umumnya lebih terjangkau dibandingkan SHM. Harga yang lebih rendah ini menjadi daya tarik bagi pembeli dengan budget terbatas atau investor yang mencari margin keuntungan lebih besar.
Namun, SHGB memiliki biaya berkelanjutan untuk perpanjangan masa berlaku. Setiap kali mendekati jatuh tempo, pemegang hak harus mengeluarkan biaya perpanjangan yang nominalnya bisa cukup besar tergantung luas dan nilai tanah.
SHM tidak memiliki biaya perpanjangan karena berlaku selamanya. Meskipun harga awal lebih tinggi, dalam jangka panjang SHM bisa lebih ekonomis karena tidak ada biaya perpanjangan berkala.
SHSRS adalah sertifikat khusus untuk kepemilikan unit apartemen atau rumah susun yang dibangun di atas tanah dengan status kepemilikan bersama. Sertifikat ini juga berlaku untuk kondominium, flat, dan properti vertikal lainnya.
Pemegang SHSRS memiliki hak penuh atas unit yang dibeli, plus hak atas tanah bersama sesuai proporsi kepemilikan. Sertifikat ini dapat dipindahtangankan, diwariskan, dan dijadikan jaminan kredit bank.
SHSRS memberikan kepastian hukum yang sama kuatnya dengan SHM, namun khusus diterapkan untuk bangunan vertikal dengan sistem kepemilikan bersama.
HGU adalah hak yang diberikan kepada perorangan atau badan hukum untuk mengusahakan tanah negara dalam bidang pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan. Luas tanah minimal untuk HGU adalah 5 hektar, dengan ketentuan jika luasnya 25 hektar atau lebih harus menggunakan investasi dan teknik perusahaan yang baik.
Masa berlaku HGU adalah 25 tahun untuk usaha umum dan dapat diperpanjang hingga 35 tahun untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama. HGU dapat diperpanjang kembali hingga 25 tahun setelah masa perpanjangan berakhir.
Sertifikat ini umumnya dimiliki oleh perusahaan besar atau koperasi yang bergerak di bidang agribisnis dan tidak relevan untuk kepemilikan hunian pribadi.
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah negara, tanah hak milik, atau tanah hak pengelolaan untuk keperluan tertentu. Jenis sertifikat ini bisa dimiliki oleh WNI, WNA yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, atau badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia.
Hak Pakai biasanya diberikan untuk tujuan pengembangan, pembangunan, atau pemanfaatan properti untuk produksi. Masa berlakunya bervariasi tergantung kesepakatan, dan dapat diperpanjang sesuai ketentuan yang berlaku.
Sertifikat ini cocok untuk keperluan operasional tertentu atau investasi dengan tujuan spesifik, bukan untuk kepemilikan hunian permanen.
Girik atau Letter C adalah bukti kepemilikan tanah lama yang berasal dari zaman kolonial. Status ini sebenarnya bukan sertifikat resmi, melainkan hanya bukti pembayaran pajak atas tanah yang bersangkutan kepada otoritas pada masa itu.
Tanah girik belum diakui secara penuh sebagai bukti kepemilikan yang sah menurut hukum Indonesia modern. Kekuatan hukumnya lemah dan tidak dapat dijadikan jaminan kredit bank atau agunan resmi.
Jika Anda memiliki tanah dengan status girik, sebaiknya segera lakukan proses sertifikasi ke BPN untuk mengubahnya menjadi SHM. Proses ini penting untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan penuh atas kepemilikan tanah Anda.
Tidak semua SHGB bisa diubah menjadi SHM. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan konversi status. Pertama, pemohon harus Warga Negara Indonesia karena SHM tidak bisa dimiliki oleh WNA.
Tanah tersebut harus digunakan untuk hunian pribadi, bukan untuk kepentingan komersial. Status tanah SHGB harus berdiri di atas tanah negara atau bekas tanah adat, bukan di atas tanah hak milik pihak lain atau hak pengelolaan.
Luas tanah umumnya tidak boleh lebih dari 600 meter persegi untuk konversi ke SHM. Ketentuan ini dapat bervariasi tergantung regulasi daerah setempat, jadi sebaiknya konfirmasi ke kantor BPN di wilayah Anda.
Proses konversi SHGB ke SHM dimulai dengan mengunjungi kantor BPN di lokasi terdaftarnya sertifikat. Anda perlu mengisi formulir permohonan peningkatan hak yang tersedia di loket pelayanan.
Dokumen yang harus disiapkan meliputi fotokopi KTP dan KK, sertifikat SHGB asli, bukti pembayaran PBB tahun berjalan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), dan surat pernyataan pemohon. Jika diwakilkan, sertakan surat kuasa bermaterai.
Setelah berkas dinyatakan lengkap, Anda akan diminta membayar biaya administrasi. Petugas BPN kemudian akan melakukan pemeriksaan tanah dan verifikasi dokumen. Jika semua persyaratan terpenuhi dan tidak ada keberatan, BPN akan menerbitkan SHM baru menggantikan SHGB lama.
Biaya konversi SHGB ke SHM bervariasi tergantung luas tanah dan nilai properti. Komponen biaya yang harus disiapkan meliputi biaya pendaftaran sebesar Rp50.000 untuk tanah seluas maksimal 600 meter persegi, ditambah biaya tambahan jika ada konstatering untuk tanah lebih luas.
Anda juga harus membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5% dari total transaksi yang sudah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Jika menggunakan jasa notaris atau PPAT, ada biaya tambahan untuk pembuatan akta.
Waktu proses konversi relatif cepat, sekitar 5 hari kerja setelah semua dokumen lengkap dan pembayaran dilunasi. Namun, durasi ini bisa lebih lama jika ada pemeriksaan tambahan atau dokumen yang perlu dilengkapi.
Jika Anda mencari properti untuk hunian jangka panjang atau rumah keluarga yang akan diwariskan, SHM adalah pilihan terbaik. Kepemilikan permanen tanpa batas waktu memberikan ketenangan pikiran dan kepastian hukum yang maksimal.
Properti dengan SHM juga lebih mudah dalam proses pewarisan kepada generasi berikutnya. Anda tidak perlu khawatir dengan biaya perpanjangan berkala atau risiko kehilangan hak jika lupa memperpanjang sertifikat.
Meskipun harga awal lebih tinggi, nilai investasi jangka panjang SHM lebih menguntungkan. Nilai properti cenderung terus meningkat, dan status SHM membuatnya lebih mudah dijual kembali dengan harga premium.
Untuk investor yang mencari return cepat atau spekulasi properti jangka pendek, SHGB bisa menjadi pilihan yang ekonomis. Harga beli lebih rendah memberikan margin keuntungan lebih besar saat dijual kembali.
SHGB juga cocok untuk Anda yang tidak berencana tinggal di satu tempat dalam jangka panjang. Fleksibilitas untuk pindah tanpa terikat properti permanen bisa menjadi keuntungan tersendiri.
Namun, pastikan Anda memahami konsekuensi jangka waktu terbatas dan kewajiban perpanjangan. Hitung dengan cermat biaya perpanjangan berkala agar tidak mengurangi keuntungan investasi Anda.
Sebelum membeli properti, selalu lakukan pengecekan menyeluruh terhadap status sertifikat. Mintalah fotokopi sertifikat dari penjual dan verifikasi keasliannya di kantor BPN setempat atau melalui aplikasi resmi seperti "Sentuh Tanahku".
Pastikan nama pemilik di sertifikat sesuai dengan identitas penjual. Periksa juga apakah ada catatan sengketa, blokir, atau sitaan di kantor pertanahan yang bisa menghambat proses jual beli.
Untuk properti SHGB, tanyakan sisa masa berlaku sertifikat dan apakah sudah pernah diperpanjang. Hitung estimasi biaya perpanjangan yang akan Anda tanggung di masa depan. Jika memungkinkan, pilih SHGB yang masih memiliki sisa waktu cukup lama atau bisa dikonversi ke SHM.
Konsultasikan dengan notaris atau PPAT untuk memastikan semua dokumen legal sudah lengkap dan sah. Jangan ragu bertanya tentang hal-hal yang kurang jelas agar Anda bisa membuat keputusan pembelian yang tepat.
Memahami perbedaan SHM dan SHGB adalah langkah penting sebelum membeli properti di Indonesia. SHM memberikan kepemilikan penuh atas tanah dan bangunan tanpa batas waktu, menjadikannya pilihan ideal untuk hunian permanen dan investasi jangka panjang. Sementara SHGB hanya memberikan hak atas bangunan dengan jangka waktu terbatas, lebih cocok untuk investasi jangka pendek atau penggunaan sementara.
Selain kedua jenis utama ini, ada juga sertifikat lain seperti SHSRS untuk apartemen, HGU untuk usaha pertanian, Hak Pakai untuk kebutuhan spesifik, serta girik yang sebaiknya segera dikonversi menjadi sertifikat resmi. Setiap jenis memiliki karakteristik dan fungsi berbeda yang harus disesuaikan dengan kebutuhan Anda.
Ketika memilih properti, pastikan untuk memeriksa status sertifikat dengan cermat, verifikasi keaslian dokumen, dan konsultasikan dengan ahli jika diperlukan. Keputusan yang tepat dalam memilih jenis sertifikat akan melindungi investasi Anda dan memberikan ketenangan pikiran dalam kepemilikan properti.
Siap menemukan properti dengan sertifikat yang jelas? Kunjungi Hoome untuk cari rumah dengan sertifikat yang jelas di berbagai lokasi. Jika Anda pemilik properti, pasang iklan properti Anda di Hoome secara gratis dan dapatkan pembeli berkualitas. Butuh informasi lebih lanjut? Baca artikel informatif lainnya tentang properti atau diskusikan dengan komunitas properti di forum Hoome untuk mendapatkan insight dari para ahli dan sesama pengguna.